Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang guru
dituntut suatu keahlian tertentu (meng-ajar, mengelola kelas, merancang
peng-ajaran) dan dari pekerjaan ini se- seorang dapat memiliki nafkah
bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain.
Namun da-lam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi
berbeda dari pekerjaan lain. Menurut artikel “The Limit of Teaching
Proffesion,” profesi guru termasuk ke dalam profesi khusus _ selain
dokter, penasihat hukum, pastur. Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya
terjadi dalam suatu bentuk pela-yanan manusia atau masyarakat. Orang
yang menjalankan profesi ini hendak-nya menyadari bahwa ia hidup dari
padanya, itu haknya; ia dan keluarga-nya harus hidup _ akan tetapi
hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi
motivasi utamanya, melainkan kese- diaannya untuk melayani sesama.Di
lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam
hal ini, perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya
dituntut adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam
ke-adaan darurat dianggap wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok.
Atau dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian
kemanusia-an.
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya
kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian
yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan — serta ikrar
(fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut — untuk dengan
semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama
yang tengah dirundung kesulitan ditengah gelapnya kehidupan
(Wignjosoebroto, 1999). Dengan demikian seorang profesional jelas harus
memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses
pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada
unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam melaksanakan suatu
kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk mem bedakannya
dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari
nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi. Lebih lanjut Wignjosoebroto
[1999] menjabarkan profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan
persyaratan dari setiap kegiatan pemberian “jasa profesi” (dan bukan
okupasi) ialah bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk
merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti,
dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan
upah materiil; bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh
kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses
pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat; bahwa
kerja seorang profesional — diukur dengan kualitas teknis dan kualitas
moral — harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode
etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi
profesi. Ketiga watak kerja tersebut mencoba menempatkan kaum
profesional (kelompok sosial berkeahlian) untuk tetap mempertahankan
idealisme yang menyatakan bahwa keahlian profesi yang dikuasai bukanlah
komoditas yang hendak diperjual-belikan sekedar untuk memperoleh nafkah,
melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kesejahteraan umat
manusia. Kalau didalam peng-amal-an profesi yang diberikan ternyata ada
semacam imbalan (honorarium) yang diterimakan, maka hal itu semata
hanya sekedar “tanda kehormatan” (honour) demi tegaknya kehormatan
profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan pemberian upah yang
hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya bersangkutan dengan profesi
atau bidang pekerjaan yang berdasarkan pendidikan keahlian tertentu.
Seorang profesional memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan
profesinya, Pengertian profesional dalam visi di atas, bahwa
Puslitbangwas sebagai institusi yang mempunyai tugas dan fungsi di
bidang penelitian dan pengembangan harus di dukung dengan SDM yang
kompeten, yaitu menguasai berbagai metodologi penelitian di bidangnya,
memiliki integritas yang tinggi, senantiasa bersikap independen dan
objektif, serta berorientasi kepada penciptaan hal-hal baru (inovatif)
yang dapat memberikan nilai tambah bagi kepentingan mitra kerja dan
pengguna hasil.
Sumber :http://angga_be.blog.plasa.com/
Browse » Home